KEDAULATAN ENERGI DAN PESAN BUNG KARNO (YANG TERLUPAKAN)
Quo vadis perekonomian Indonesia ? mungkin ini suatu frasa yang tepat untuk
mengartikulasikan keresahan dalam benak rakyat. 65 tahun Indonesia berdaulat,
namun panggunaan kata berdaulat seolah penggunaan diksi yang tidak relevan.
Jutaan rakyat Indonesia tidak menikmati bumi kemerdekaan mereka, merasakan
manisnya hasil bumi dan berkah subsidi Tuhan yang dikandung ibu pertiwi. Rakyat
Indonesia menahan lapar dan menangis darah menyaksikan emas permata mereka
dirampok (Proposisi penulis)
"Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum
kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua
orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku
oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?" -Bung Karno
"Jangan Dengarkan Asing..!!"
Itulah yang diucapkan Bung Karno di tahun 1957 saat ia mulai
melakukan aksi atas politik kedaulatan modal. Aksi kedaulatan modal adalah
sebuah bentuk politik baru yang ditawarkan Sukarno sebagai alternatif ekonomi
dunia yang saling menghormati, sebuah dunia yang saling menyadari keberadaan
masing-masing, sebuah dunia co-operasi, "Elu ada, gue ada" kata Bung
Karno saat berpidato dengan dialek betawi di depan para mahasiswa sepulangnya
dari Amerika Serikat.
"Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya
untuk menguasai Tarakan, untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama
Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik,
kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politiek, tapi soal bagaimana
menjadiken manusia yang didalamnya hidup terhormat dan terjamin
kesejahteraannya" kata Bung Karno saat
menerima beberapa pembantunya sesaat setelah pengunduran Hatta menjadi Wakil
Presiden RI tahun 1956. Saat itu Indonesia merobek-robek perjanjian KMB
didorong oleh kelompok Murba, Bung Karno berani menuntut pada dunia
Internasional untuk mendesak Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia
"Kalau Belanda mau perang, kita jawab dengan perang" teriak Bung
Karno saat memerintahkan Subandrio untuk melobi beberapa negara barat seperti
Inggris dan Amerika Serikat.
"Gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang
dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi
dialah pemenang" Ambisi terbesar Sukarno
adalah menjadikan energi sebagai puncak kedaulatan bangsa Indonesia, pada
peresmian pembelian kapal tanker oleh Ibnu Sutowo sekitar tahun 1960, Bung
Karno berkata "Dunia akan bertekuk
lutut kepada siapa yang punya minyak, heee....joullie (kalian =bahasa belanda)
tau siapa yang punya minyak paling banyak, siapa yang punya penduduk paling
banyak...inilah bangsa Indonesia, Indonesia punya minyak, punya pasar. Jadi
minyak itu dikuasai penuh oleh orang Indonesia untuk orang Indonesia, lalu dari
minyak kita ciptaken pasar-pasar dimana orang Indonesia menciptaken
kemakmurannya sendiri".
Di tahun 1960, Sukarno bikin gempar perusahaan minyak asing, dia
panggil Djuanda, dan suruh bikin susunan soal konsesi minyak "Kamu tau, sejak 1932 aku berpidato di
depan Landraad soal modal asing ini? soal bagaimana perkebunan-perkebunan itu
dikuasai mereka, jadi Indonesia ini tidak hanya berhadapan dengan kolonialisme
tapi berhadapan dengan modal asing yang memperbudak bangsa Indonesia, saya
ingin modal asing ini dihentiken, dihancurleburken dengan kekuatan rakyat,
kekuatan bangsa sendiri, bangsaku harus bisa maju, harus berdaulat di segala
bidang, apalagi minyak kita punya, coba kau susun sebuah regulasi agar bangsa
ini merdeka dalam pengelolaan minyak" urai Sukarno di depan Djuanda.
Lalu tak lama kemudian Djuanda menyusun surat yang kemudian
ditandangani Sukarno. Surat itu kemudian dikenal UU No. 44/tahun 1960. isi dari
UU itu amat luar biasa dan memukul MNC (Multi National Corporation). "Seluruh Minyak dan Gas Alam dilakukan
negara atau perusahaan negara". Inilah yang kemudian menjadi titik
pangkal kebencian kaum pemodal asing pada Sukarno, Sukarno jadi sasaran
pembunuhan dan orang yang paling diincar bunuh nomor satu di Asia. Tapi Sukarno
tak gentar, di sebuah pertemuan para Jenderal-Jenderalnya Sukarno berkata "Buat apa memerdekakan bangsaku, bila
bangsaku hanya tetap jadi budak bagi asing, jangan dengarken asing, jangan mau
dicekoki Keynes, Indonesia untuk bangsa Indonesia".
Sukarno sangat perhatian dengan seluruh tambang minyak di Indonesia,
di satu sudut Istana samping perpustakaannya ia memiliki maket khusus yang
menggambarkan posisi perusahaan minyak Indonesia, suatu hari saat Bung Karno
kedatangan Brigjen Sumitro, yang disuruh Letjen Yani untuk menggantikan Brigjen
Hario Ketjik menjadi Panglima Kalimantan Timur, Sukarno sedang berada di ruang
khusus itu, lalu ia keluar menemui Sumitro yang diantar Yani untuk sarapan
dengan Bung Karno, saat sarapan dengan roti cane dengan madu dan beberapa obat
untuk penyakit ginjal dan diabetesnya, Sukarno berkata singkat pada Sumitro :
"Generaal Sumitro saya titip rafinerij (rafineij = tambang dalam bahasa
Belanda) di Kalimantan, kamu jaga baik-baik" begitu perhatiannya Sukarno
pada politik minyak.
Sukarno menciptakan landasan politik kepemilikan modal minyak,
inilah yang harus diperjuangkan oleh generasi muda Indonesia, kalian harus
berdaulat dalam modal, bangsa yang berdaulat dalam modal adalah bangsa yang
berdaulat dalam ekonomi dan kebudayaannya, ia menciptakan masyarakat yang
tumbuh dengan cara yang sehat.
Bung Karno tidak hanya mengeluh dan berpidato didepan publik tentang
ketakutannya seperti SBY, tapi ia menantang, ia menumbuhkan keberanian pada
setiap orang Indonesia, ia menumbuhkan kesadaran bahwa manusia Indonesia berhak
atas kedaulatan energinya. Andai Indonesia berdaulat energinya, Pertamina
menjadi perusahaan minyak terbesar di dunia dan menjadi perusahaan modal yang
mengakusisi banyak perusahaan di dunia maka minyak Indonesia tak akan semahal
sekarang, rakyat yang dicekik terus menerus.
Namun setelah
pergantian rezim, eksplorasi energy dalam perut bumi ibu pertiwi berbalik 360
derajat, kaedaulatan energy yang diwanti-wanti bung karno seolah nyanyian
sinden dalam pewayangan yang tidak lagi sesuai dengan telinga generasi orde
baru. Inilah realita Indonesia saudara-saudara. Pesan bung karno memang
diucapkan puluhan tahun yang lalu, tapi coba buka mata apa yang telah kita
dapatkan dengan liberalisasi sector energy ?.
Kesalahan utama
kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1 tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diikuti penandatanganan kontrak karya
(KK) generasi I antara pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran . Disusul dengan UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang
berorientasi pada kekuatan modal besar dan eksploitatif. Dampak susulannya
adalah keluarnya berbagai regulasi pemerintah yang berpihak pada kepentingan
pemodal. Dari kebijaakan-kebijakannya sendiri, akhirnya pemerintah terjebak
dalam posisi lebih rendah dibanding posisi pemodal yang disayanginya.
Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak tegas terhadap perusahaan
pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.
Sejak tahun 1967 hingga saat ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen
Pertambangan dan Energi, (kini Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah
merasa bangga jika berhasil mengeluarkan izin pertambangan sebanyak mungkin.
Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999 pemerintah telah “berhasil”
memberikan izin sebanyak 908 izin pertambangan yang terdiri dari kontrak karya
(KK), Kontrak karya Batu Bara (KKB) dan Kuasa Pertambangan (KP), dengan total
luas konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir separuh dari luas total daratan
Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk perijinan untuk kategori bahan galian
C yang perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa SIPD. Walaupun
baru sebagian kecil dari perusahaan yang memiliki izin itu melakukan kegiatan
eksploitasi, namun dampaknya sudah terasa menguatirkan.
Production Sharing Contrac (Kontrak Bagi Hasil/PSC) Dalam usulan RUU Migas,
pemerintah berkeinginan mengganti PSC dengan Kontrak Kerjasama, yang menyerupai
Kontrak Karya dalam pertambangan umum. Padahal semua tahu model Kontrak
Kerjasama ala Kontrak Karya, telah nyata-nyata merugikan bangsa yang dikeruk
hasil alamnya oleh perusahaan tambang. Perdebatan menjadi tereduksi oleh
bingkai penglihatan sistem kontrak, yang sangat diharapkan oleh investor.
Inilah kenyataan yang kita warisi
dari romantika dan dialektika perjalanan bangsa ini mengisi kemerdekannya,
penulis tidak bermaksud menyampaikan provokasi atau apapun namanya, penulis
hanya mencoba membuka mata dan fikiran kita semua selaku generasi penerus
bangsa yang ditelurkan dari kawah candradimuka, masyarakat pergerakan intelek
yang disebut agent of change. Apakah kesadaran kritis hanya harus berkoar dalam
tataran diskursus-diskursus yang kemudian hilang suaranya setelah bubar. TIDAK
saudara-saudara, untuk apa kita menyandang predikat agent of change jika itu
hanya kata-kata pemanis gerakan mahasiswa. Bukankah itu justru menjadi
pelecehan idealisme mahasiswa, suara-suara lantang tanpa gerak konkrit yang
merealisir hal tersebut.
Maka dari itu penulis mengajak rekan-rekan semua
untuk menelurkan dan mengartikulasikan aspirasi lewat tulisan. Mungkin sudah
saatnya kita sadar bahwa cara-cara klasik yang selama ini kita tempuh terlalu
boros energy dan justru merugikan rakyat sendiri yang notabene dibela
kepentingannya, tanpa menafikkan bahwa jalan tersebut terkadang perlu ditempuh
pada kondisi-kondisi tertentu.
Romantika sejarah bangsa ini telah menjadi saksi
bagaimana mahasiswa telah menjadi bagian penting sejarah dan revolusi bangsa
ini. Apakah kita sudah lupa ? apa idealisme kita telah tergerus pesan-pesan
hedonisme yang digonggongkan media ? demikianlah yang sempat penulis sampaikan,
bukan bermaksud merasa paling heroid dan patriotis, namun hanya sekedar coretan
dinding yang merindukan kedaulatan bangsanya yang seolah hanya dongeng-dongeng
sebelum tidur dalam literature-literatur sejarah. Sekian
SALAM PERJUANGAN !!!
….mahasiswa
Indonesia berperan ibaratnya seorang resi (guru agama yang ahli bela diri—pen)
atau seorang sheriff yang turun ke kota menyelamatkan rakyatnya ketika
bandit-bandit datang dan mengancam keselamatan kota. Setelah bandit-bandit
tersebut tewas atau melarikan diri, maka resi atau sheriff pergi meninggalkan
kota tersebut dan kembali ke tempat tinggalnya.(Soe Hok Gie: Catatan Harian
Seorang Demonstran. 1967:…..)
"negeri kita kaya, kaya, kaya-raya,
saudara-saudara. Berjiwa besarlah, berimagination. Gali ! Bekerja! Gali!
Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia". -bung karno-
"bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati
jasa pahlawannya" -bung karno-
"perjuanganku lebih mudah karena mengusir
penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu
sendiri." – bung karno-
"bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan
dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang
merdeka." -bung karno-
Tentunya
dalam penulisan tulisan bukan murni semua hasil pemikiran penulis, berikut ini
penulis paparkan sumber referensi yang penulis kutip sebagai bagian dari etika
penulisan ilmiah
SUMBER REFERENSI :
“Inilah Pesan Bung Karno Tentang
Kedaulatan Indonesia” (Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto)
“Quo Vadis
Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia” (Anonim)
“Indocropcircle.wordpress.com”
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking