Woensdag 15 Oktober 2014

Disorientasi, Restorasi, dan Amanah Bung Hatta Tentang Perekonomian Indonesia

Disorientasi, Restorasi, dan Amanah Bung Hatta Tentang Perekonomian Indonesia
Kita semua telah mengetahui perjuangan Bung Hatta memproklamasikan keperdekaan Indonesia bersama Bung Karno.
Apa yang akan saya kemukakan adalah konsistensi antara perjuangan mencapai dan mengisi kemerdekaan yang telah dilakukan Bung Hatta sebagai contoh dari totalitasnya yang berikutnya.
Seringkali  di berbagai kesempatan dan pada berbagai tulisan, Bung Hatta menegaskan tentang perbedaan antara “kedaulatan rakyat Indonesia” dengan kedaulatan rakyat di Barat. Kedaulatan rakyat sebagai inti dari demokrasi(Volkssouvereiniteit atau people’s sovereignty) berbeda antara paham Indonesia dan paham Barat. Kedaulatan rakyat sebagai inti demokrasi tidaklah sama mengenai apa yang berlaku di Barat dan yang berlaku di Indonesia.
Demokrasi di Barat bertumpu pada paham liberalisme dan individualisme. Di pihak lain, demokrasi di  Indonesia yang juga bertumpu “rasa bersama”, lebih spesifik lagi, berdasar pada paham kebersamaan dan asas kekeluargaan (brotherhood).
Kebersamaan dan asas kekeluargaan yang sesuai dengan budaya Indonesia ini juga dikenal di Barat dengan istilah mutualism and brotherhood, yangkiranya di dalam lingkungan masyarakat beragama Islam dikenal sebagai ke-jemaah-andanke-ukhuwah-an. Demokrasi Barat yang juga bertumpu pada kedaulatan rakyat itu disebut sebagai demokrasi liberal  yang menjunjung tinggi nilai-nilai individualisme. Kepentingan individu atau orang per orang lebih diutamakan dalam demokrasi Barat.
Sebaliknya dalam demokrasi Indonesia, yang dipen­tingkan adalah kebersamaan dan kepentingan bersama, artinya mengutamakan kepentingan kolektif.  Demokrasi Indonesia atas dasar kebersamaan dan asas kekeluargaan ini di dalam kehidupan keekonomian ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 UUD 1945 berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama ber­dasar atas asas keke­luargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
UUD yang diamandemen pada tahun 2002 (melalui Amandemen keempat terhadap UUD 1945) menambah Pasal 33 UUD 1945 dengan dua ayat, yaitu:
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berda­sar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi ber­keadilan, berkelanjutan, berwawasan ling­kung­an, ke­mandirian, serta dengan menjaga keseim­bang­an kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; (5) Ke­ten­tuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. 
Realita dunia telah bericara setelah paham ekonomi komunis yang berlaku di Uni Soviet dan di Eropa Timur runtuh dan kemudian saat ini kita menyaksikan bahwa paham kapitalisme Barat dengan pasar-bebasnya mulai guncang dan mulai diragukan oleh rakyat Amerika Serikat dan Eropa,  maka oleh kelompok ekonomi yang menyebut dirinya berpaham ekonomi konstitusi,  Pasal 33 UUD 1945 mulai dibangkitkan kembali menjadi harapan dan andalan. Para pemenang Nobel sejak awal millenium baru ini seperti Prof. Stiglitz, Prof. Akerlof, Prof. Krugman telah menegaskan bahwa globalisasi yang berdasarkan kapitalisme dengan pasar-bebasnya tidak bisa dipertahankan. Sebelum millennium lalu berakhir, Prof. Anthony Giddens sudah membayangkan diperlukannya “jalan ketiga” yang bukan sosialis-komunis dan bukan pula kapitalisme pasar-bebas.
Jauh-jauh hari pada tahun 1934 Bung Hatta telah menolak pasar-bebasnya Adam Smith, dan tentu Hatta sebelum itu, tatkala memimpin Perhimpunan Indonesia, sebelum tahun 1930 telah dengan tegas menolak pula komunisme. Kemudian ketika beliau dibuang di Boven Digoel pada tahun 1935 Bung Hatta sudah mulai menggagas Pasal 33 UUD 1945.
Perlu saya tegaskan di sini paham ekonomi Bung Hatta sebagaimana terumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945 bukanlah “jalan tengah” melainkan adalah “jalan lain”. Bung Hatta sendiri menyebutnya sebagai “jalan lurus”, yaitu “jalan Pancasila”. Di sinilah dalam konsepsi ekonomi Bung Hatta, pembangunan adalah proses humanisasi, memanusiakan manusia, bahwa yang dibangun adalah rakyat, bahwa pembangunan ekonomi adalah derivat dan pendukung pembangunan rakyat. Di dalam kehidupan ekonomi yang berlaku adalah “daulat-rakyat” bukan “daulat-pasar”.
Bung Hatta menegaskan pula bahwa di dalam membangun perekonomian nasional berlaku “doktrin demokrasi ekonomi”, bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang, kemakmuran adalah bagi semua orang, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Sebagai ilmuan Antropologi tentu saya tidak piawai dalam ilmu ekonomi, oleh karena itu berikut ini saya kutipkan pandangan dari seorang ekonom yang saya nilai memahami pemikiran Bung Hatta mengenai disain ekonomi nasional Indonesia, berkaitan dengan Pasal 33 (ayat 1) UUD 1945 yang berbunyi “Perekonomian disusunsebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, sebagai berikut:
“…Perekonomian tentu meliputi seluruh wadah ekonomi, tidak saja badan usaha koperasi, tetapi juga meliputi BUMN dan juga badan usaha swasta.
Disusun (dalam konteks orde ekonomi dan sistem ekonomi) artinya adalah bahwa perekonomian, tidak dibiarkan tersusun sendiri melalui mekanisme dan keku­atan pasar, secara imperatif tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri mengikuti kehendak dan selera pasar. Dengan demikian peran Negara tidak hanya sekedar mengintervensi, tetapi menata, mendesain dan merestruktur, untuk mewujudkan kebersamaan dan asas kekeluargaan serta terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 33 UUD 1945 ini secara mendasar menolak paham fundamentalisme pasar. Pasar adalah ekspresi selera dan kehendak si kaya yang memiliki tenga beli3. Oleh karena itu dalam sistem ekonomi yang pro-pasar maka pola-produksi (dan selanjutnya pola-konsumsi) akan dibentuk sesuai dengan kehendak si kaya dan oleh perhitungan untung-rugi ekonomi4. Apa yang penting untuk dikemukakan di sini dalam kaitannya dengan Pasal 33 UUD 1945 adalah bahwa Pembangunan Nasional tidak seha­rusnya diserahkan pada ke­hendak pasar dan selera pasar, apalagi pada naluri dasar (kerakusan) pasar.
Untuk Indonesia yang mewarisi berbagai ketim­pangan-ketim­pa­ngan struktural, baik dari segi hukum, sosial dan politik, tak terkecuali dari segi ekonomi, maka Pembangunan Nasional haruslah dilakukan melalui suatu perencanaan nasional. Masa depan Indonesia harus di­disain dan ditata, strategi pembangunan harus dengan tandas digariskan, sesuai dengan pesan konstitusi. Peren­canaan pem­bangunan nasional adalah pilihan imperatif, perekonomian harus disusun, sekali lagi tidak dibiarkan tersusun sendiri melalui mekanisme pasar-bebas. Pasar tidak akan mampu mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural.
Usaha bersama adalah wujud paham mutualisme, suatu kehendak untuk senantiasa mengutamakan semangat bekerjasama dalam kegotongroyongan, dalam ke-jemaah-an, dengan meng­utamakan keserikatan, tidak sendiri-sendiri.
Asas keke­luargaan adalah brotherhood atau ke-ukhuwah-an (yang bukan kinshipnepotistik) sebagai pernyataan adanya tanggungjawab bersama untuk menjamin kepentingan bersama, kemajuan bersama dan kemakmuran bersama, layaknya makna brotherhood yang mengutamakan kerukunan dan solidaritas. Dalam negara yang pluralistik ini brotherhood adalah suatu ke-ukhuwah-an yang wathoniyah. …”.
Bolehlah saya bertanya, apakah pesan konstitusi ini telah diterjemahkan dan dijabarkan dalam pengajaran ilmu ekonomi di ruang-ruang kelas? Dengan kata lain apakah yang diajarkan justru ilmu ekonomi kapitalistik neoliberal yang berdasar pasar-bebas yang ditentang oleh doktrin demokrasi ekonomi yang mendasari Pasal 33 UUD 1945?
Yang perlu kita amati adalah “pendatang baru” dalam pemikiran-pemikiran ekonomi yang diperkenalkan dengan istilah “Ekonomi Syariah”. Sekali lagi akan saya kutipkan pendapat seorang ekonom yang memahami pikiran-pikiran Bung Hatta yang telah secara formal menjadi pesan konstitusi kita, sebagai berikut:
“…Pada kesempatan ini saya rasakan perlunya mencoba menjelaskan dari sudut pandang Syariah sebagai berikut. Bunyi Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 menegaskan bahwa ‘…Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan…’.
Perekonomian disusun, artinya imperatif harus disusun dan tidak dibiarkan tersusun sendiri, haruslah disusun karena Firman Allah ‘…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu…’ (Al-Hasyr, ayat 7).
Demikian pula disusun agar tidak terjadi konsentrasi pe­nguasaan (tidak boleh terjadi pemonopolian) terhadap sumber-sumber kekayaan karena ‘…Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di dalamnya, Dia Maha Kuasa atas segalanya…’ (Al-Maidah, ayat 120). Dan ‘…sungguh, orang muslim hanya satu dalam persaudaraan…’ (Al-Hujurat, ayat 10).Demikian pula Tuhan tidak meng­hendaki penguasaan harta secara mutlak, maka Tuhan berfirman ‘…Celakalah…yang menimbun harta dan menghitung-hitungnya…’ (Al-Humazah, ayat 2).
Bahwa perekonomian harus disusun, tidak boleh dibiar­kan tersusun sendiri melalui mekanisme pasar-bebas a la competitive economics, maka makin jelas dari Sabda Rasul SAW (HR Abu Dawud) agar ‘…Manusia berserikat dalam tiga hal: air, api dan rumput…’. Berserikat adalah wujud paham keber­samaan, berserikat adalah wujud pengaturan berdasar mu­syawarah dan mufakat.
Itulah sebabnya Pasal 33 UUD 1945 adalah sangat Islami karena diutamakannya‘usaha bersama’ atau usaha ‘ber-jemaah’, yang dalam bahasa eko­nomi saya sebut sebagai mutualism, melalui perserikatan itu yang berarti menolak individualisme atau asas perorangan…
Demikian pula arti dari ‘asas kekeluargaan’ yang dalam bahasa ekonomi saya sebut sebagai brotherhood, yang dalam bahasa agama kita sebut sebagai ‘ukhuwah’, baikdiniyah, wathoniyah maupun bashariyah.
Demikian pula perlu kita catat bahwa Pasal 34 UUD 1945 yang menegaskan ‘Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara’ menunaikan QS. 107: 1-7. Bahwa definisi pem­bangunan telah terkoreksi dan ber­kembang ke arah people-centered dan humanism, harus kita sadari dan terus kita tuntut…”.
Sesungguhnya “Ekonomi Syariah” seiring dan compatible dengan Pasal 33 UUD 1945, bahkan dengan Pasal 27 (ayat 2)?
Bagi Bung Hatta, ajaran agama Islam yang diterimanya sejak kecil bukan untuk memamerkan kemampuan mengaji karena sudah seharusnya orang Islam belajar  al-Qur’an,  atau memakai atribut-atribut dan asesori yang menggambarkan dirinya seorang Islam. Bagi Bung Hatta, Islam untuk diamalkan, bagaikan garam, tak terlihat tetapi terasa dalam makanan, bukan sebagai gincu (lipstick), kelihatan tetapi tak terasa.  Sebaliknya  bagi Bung Hatta, nilai-nilai Islam harus dijadikan sarana untuk mensejahterakan rakyat. Ilmu ekonomi harus membuat sistem perekonomian Indonesian menjadi sarana mensejahterakan rakyat,  bukan untuk kepentingan kelompok atau individu sebagaiman sudah dijelaskan di atas.


Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking