SEJARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang dianut oleh sebagian
besar negara di dunia ini. Berbicara tentang demokrasi, demokrasi dibagi menjadi dua komponen, yaitu
demokrasi substansif dan demokrasi
prosedural. Komponen pertama adalah landasan normatif yang bermuatan seperangkat
nilai-nilai dasar bagi suatu tatanan (sistem) kehidupan politik dan
ketatanegaraan yang keberadaanya mutlak diperlukan serta membedakannya dengan
sistem yang lain. Komponen kedua adalah seperangkat tata cara yang dipergunakan
agar sistem tersebut dapat bekerja secara optimal dalam suatu konteks
masyarakat tertentu. Jika komponen yang pertama pada hakekatnya bersifat
universal dan permanen, maka komponen kedua bersifat kontekstual dan
bentuknya terus menerus mengalami perkembangan serta terbuka (open-ended).
Menurut Affan Gafar, demokrasi prosedural memiliki beberapa unsur, yaitu
akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik yang terbuka, pemilu dan
menikmati hak-hak dasar. Kendati kedua komponen tersebut tak dapat dipisahkan,
namun kedua elemen tersebut dapat dibedakan satu dari yang lain.
Setiap negara yang menggunakan sistem demokrasi dalam
pemerintahannya, ada yang menyerapnya secara
utuh, namun ada pula yang mengculturisasinya dengan budaya yang ada di negara
tersebut, seperti Indonesia yang mengculturisasinya menghasilakan demokrasi
pancasila. Bagimana lahirnya demokrasi yang saat ini dianut sebagian besar
negara di dunia? Akan kami uraikan dalam
pembahasan makalah ini.
I.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
diatas, kami merumuskan masalah yang terangkum dalam rumusan masalah berikut:
1.
Apa pengertian demokrasi?
2.
Bagaimana sejarah perkembangan demokrasi di
dunia?
3.
Bagaiman
kadungan yang ada dalam demokrasi?
BAB II
PEMBAHASAN
II. 1
Pengertian Demokrasi
Secara etimologis, kata demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos
(rakyat), dan kratos (pemerintahan). Sehingga
dapat diartikan bahwa demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Sedangkan menurut
istilah demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, yang dilaksanakan baik
secara langsung, maupun melalui perwakilan yang dipilah, melalui suatu unit
politis yang menmpunyai kekuasaan dalam pemerintahan.
Menurut
Alamudi, demokrasi adalah seperangkat gagasan dan prinsip
tentang kebebasan, tetapi juga mencakup seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan
sering berilku-liku sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan dari
kebebasan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam negara yang demokratis warganya bebas mengambil
keputusan melalui kekuasaan mayoritas namun tidak benar bahwa kekuasaan
mayoritas itu selalu demokratis. Tidak dapat dikatakan adil apabila warga yang
berjumlah 51% diperbolehkan menindas penduduk yang sisanya 49%. Suatu negara
dapat dikatakan demokratis apabila kekuasaan mayoritas digandengkan dengan
jaminan atas hak asasi manusia. Kelompok mayoritas dapat melindungi kaum
minoritas. Hak-hak minoritas tidak dapat dihapuskan oleh suara mayoritas. Semua
kelompok golongan atau warga negara hendaknya mendapat perlindungan hukum atau
mendapat jaminan menurut undang-undang.
Kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi, ada yang dinamakan demokrasi
konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi
Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dan
sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi, yang menurut asal kata
berarti ”rakyat berkuasa” atau ”government of rule by the people”.
Ciri khas dari demokrasi ialah gagasan
bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya
dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-weneng terhadap warga negaranya.
Pembatasan-pembatasan atau kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi;
maka dari itu sering disebut ”pemerintah berdasarkan konstitusi” (contitutional
government). Jadi, contituional governement sama dengan limited
government atau restrained government. Seorang ahli sejarah Inggris,
Lord Acton, dengan mengingat bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh
manusia dan bahwa manusia itu tanpa kecuali melekat banyak kelemahan. Dalilnya
yang kemudian menjadi termahsyur, bunyinya sebagai berikut: “power tends to
corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (manusia mempunyai
kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia mempunyai
kekuasaan tak terbatas pasti akan menyelahgunakannya).
Robert Dahl
menyebutkan bahwa demokrasi memberikan jaminan kebebasan yang tak tertandingi
oleh sistem politik manapun. Secara instrumental, demokrasi mendorong kebebasan
melalui tiga cara. Pertama, pemilu yang bebas dan adil yang secara
inheren mensyaratkan hak-hak politik tertentu untuk mengekspresikan pendapat,
berorganisasi, oposisi serta hak-hak politik mendasar semacam ini tidak mungkin
hadir tanpa pengakuan terhadap kebebasan sipil yang lebih luas. Kedua, demokrasi
memaksimalkan peluang bagi penentuan nasib sendiri, setiap individu hidup di
bawah aturan hukum yang dibuat oleh dirinya sendiri. Ketiga, demokrasi
mendorong otonomi moral, yakni kemampuan setiap warga negara membuat
pilihan-pilihan normatif dan karenanya pada tingkat yang paling mendalam,
demokrasi mendorong kemampuan untuk memerintah sendiri.
II. 2 Sejarah Perkembangan Demokrasi
II.2.A Lahirnya
Demokrasi
Demokrasi lahir dan telah melalui
beberapa zaman, yang diuraikan sebagai berikut:
- Pada zaman
Yunani
Pada mulanya system demokrasi berada
pada zaman Yunani kuno pada abad ke 6 sampai dengan pada abad ke 3 SM, bangsa
Yunani pada saat itu menganut demokrasi langsung yaitu dimana
keputusan-keputusan politik dibuat berdasarkan
keputusan mayoritas dari warga Yunani dan dijalankan langsung oleh seluruh warga
Negara. Pada masa itu demokrasi yang diterapkan secara langsung bisa berjalan dengan baik
hal itu karena wilayah dan jumlah penduduknya masih terbilang kecil, hanya saja
di Yunani demokrasi hanya berlaku untuk warga negara saja sedangkan untuk budak
belian dan pedagang asing tidak berlaku.
- Lahirnya Magana
Carta (Piagam Besar 1215)
Pada perkembangan demokrasi abad
pertengahan telah menghasilkan magna carta, yang merupakan semacam kontrak
antara beberapa bangsawan dan raja Johan dari inggris dimana untuk pertama kali
seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin
beberapa hak dan previlagees dari bawahannya swbagai imbalan untuk
menyerahkan dana untuk keperluan perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini
lahir dalam suasana yang feodal dan tidak berlaku pada rakyat jelata namun
dianggap sebagai tonggak perkembangan gagasan demokrasi.
- Lahirnya
Revolusi prancis dan revolusi Amerika pada akhir abad ke 18
Pada akrir abad ke 18 beberapa
pemikiran dapat menghasilakn revolusi prancils dan amerika, pemikiran
tersebut antaralain bahwa manusia mempunyai hak politik yang tidak boleh
diselewengkan oleh raja dan menyebabkan dilontarkan kecaman terhadap raja, yang
menurut pola yang sudah lazim pada masa itu mempunyai kekuasaan tidak terbatas.
Pendobrakan terhadap kedudukan raja yang absolut didasarkan atas suatu teori
rasionalistis yang dikenal dengan social contract(kontrak sosial).
Menurut Jhon Locke hak-hak politik mencangkup hak atas hidup, atau kebebasan
dan hak untuk milik, Montesqeu mencoba menyusun suatu system yang dapat
menjamin hak-hak politik, yang kemudian dikenal dengan trias politica.
- Demokrasi
Konstitusional pada Abad ke 19 dan 20
Akibat dari keinginan menyelenggarakan
hak-hak politik secara efektif timbullah gagasan bahwa cara yang terbaik untuk
membatasi kekusaan pemerintah ialah dengan suatu konstitusi. Undang-undang
menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan pembagian kekusaan Negara dengan
sedemikian rupa, sehingga kekusaan eksekutif di imbangi dengan kekusaan
parlemen dan lembaga hukum. Gagasan ini dinamakan onstitusionalisme (constitusionalism),
sedangkan Negara yang menganut gagasan ini disebut constitutional state.
Dalam abad ke 19 dan permulaan abad ke
20 gagasan mengenai perlunya pembatasan mendapatkan perumusan yang yuridis,
ahli hukum Eropa Barat yaitu Immanuel Kant memakai istilah
Rechtsstaat sedangkan menurut A.V. Dicey memakai istilah Rule of Law. Dalam
abad ke 20 gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusa warga
Negara baik dibidang social maupun ekonomi lambat laun berubah menjadi gagasan
bahwa pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan oleh karenanya
harus aktif menatur kehidupan ekonomi dan social.
Sesudah perang Dunia II International
Commission Of Jurists tahun 1965 sangat memperluas konsep mengenai Rule Of Law,
bahwa disamping hak-hak politik juga hak-hak social dan ekonomi harus diakui
dan dipelihara, dalam arti bahwa standar dasar social ekonomi. International
Commission Of Jurists dalam konfrensinya di Bangkok perumusan yang paling umum
mengenai system politik yang demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana
hak untuk membuat suatu keputusann-keputusan politik diselenggarakan oleh warga
Negara melalui wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab
kepada mereka melalui suatu prose pemilihan yang bebas. Ini dinamakan
“demokrasi berdasarkan perwakilan”.
II.2.B Perkembangan
Demokrasi
Dalam perkembangannya, demokrasi dibagi menjadi 4 fase, yaitu fase
klasik, fase pencerahan, fase modern, dan fase era kontemporer.
Fase Klasik
Ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis
politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara
kota (city states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang
mengedepankan demokrasi disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para
Tyrants atau autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis
dan perlindungan terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499
SM), Socrates (469-399 SM), Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM)
merupakan beberapa tokoh terkemuka yang mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai
bagaimana sebuah Polis
seharusnya dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para autocrats dan
tyrants.
Dari buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem
demokrasi, yaitu persamaan (egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu
diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik
ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut
memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu
sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi
yang paling keras karena dianggap dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas
sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu
tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis
diserahkan kepada kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan
kekuatan fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan nama “the philosopher
Kings”. Sebaliknya, Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan
memberikan kemungkinan Polis berkembang dan bertahan karena para warganya yang
bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam pembuatan keputusan publik,
dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang harus
dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis,
jelas bukan sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi
substantif, karena pengertian warga (citizens) yang “egaliter” dan “bebas” pada
kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas
20 th, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi
langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil
(60000-80000 orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi
dalm Polis kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum
perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para
warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak
tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum
perempuan, dan imigran.
Fase
Pencerahan
Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18 Masehi)
yang mengemuka adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang
dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir
era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes
(1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini
ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan
liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari
kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem
pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model
absolutis.
Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari
Pencerahan dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi
legitimasi sistem Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang
membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika
(1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem
demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara.
Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal.
Fase
Modern
Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20) menyaksikan bermunculannya
berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teori-teori tentang
negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan
antara negara dan masyarakat dsb. Disamping itu, terjadi perkembangan dalam
sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang
Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khusunya antara kapitalisme dan
komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ
Rousseau (1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville
(1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber
(1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946).
Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan
penguasa dengan mana legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat
dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan penyelewengan. Gagasan dan
praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu
perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau.
Mill mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang
menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern
(Parliamentary system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak
individu dari intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan
terbatas merupakan inti pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan
Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan
negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan
kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan
sosialis-komunis yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi
langsung. Negara dianggap sebagai “panitia eksekutif kaum borjuis” dan alat
yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih
merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering
away of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung
di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti
teori perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap
sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat
mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana
politik yang murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan
kaum proletar.
Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan
demokrasi langsung ala Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan.
Mereka berdua mengemukakan demokrasi sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok
elite dalam masyarakat, sesuai dengan proses
perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan
peran. Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan sistem pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem
pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan
rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh
mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern
adalah kompetisi kaum elit.
Fase Era
Kontemporer
Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer
menjadi semakin kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa
dan pertarungan ideologis yang melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan
sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan
hampir semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh, kendatipun variannya
sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain.
Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter
maupun otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika dan
Eropa, pemahaman demokrasi semakin mengarah kepada aspek prosedural, khususnya
tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir seperti Robert Dahl
umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami bagaimana
warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan demikian focus
pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada masalah proses-proses
pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik, kelompok kepentingan, dan
pribadi-pribadi tertentu yang
memiliki pengaruh kekuasaan.
Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada penghujung abad ke-20, demokrasi seolah-olah tidak lagi memiliki
pesaing dan diterima secara global. Fukuyama bahkan menyebut era paska perang
dingin sebagai Ujung Sejarah (the End of History) dimana demokrasi
(liberal), menurutnya, menjadi pemenang terakhir. Pada kenyataannya, sistem
demokrasi di dunia masih mengalami persoalan yang cukup pelik karena
komponen-komponen substantif dan prosedural terus mengalami penyesuaian dan
tantangan. Kendati ideologi besar seperti sosialisme telah pudar, namun
munculnya ideologi alternatif seperti fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb
telah tampil sebagai pemain dan penantang baru terhadap demokrasi, khususnya
demokrasi liberal.
Kondisi saat ini dimana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi
pun mengalami pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun praktis.
Munculnya berbagai pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi
sistem politik demokrasi liberal, seperti gerakan feminisme, kaum gay, pembela
lingkungan, dsb. Termasuk juga gerakan anti kapitalisme global yang bukan hanya
berideologi kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin menuntut
terjadinya terobosan baru dalam pemikiran tentang demokrasi. Contoh yang dapat
disebutkan disini adalah upaya mencari jalan ke tiga (the Third Way)
yang menggabungkan liberalisme dan populisme di Eropa dan AS.
II.2.C Nilai-Nilai Demokrasi
Demokrasi
didasari oleh beberapa nilai (values). Henry B. Mayo telah mencoba untuk
memperinci nilai-nilai ini, dengan bahwa perincian ini tidak berarti bahwa
setiap masyarakat demokratis menganut semua nilai yang diperinci itu, bergantung
kepada perkembangan sejarah serta budaya politik masing-masing. Di bawah ini diutarakan
beberapa nilai yang dirumuskan oleh Henry B. Mayo.
- Menyelesaikan
perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized
peaceful settlement of conflict)
- Menjamin
terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang
berubah (peaceful change in a changing society)
- Menyelenggarakan
pergantian pemimpin secara teratur
(orderly succession of rulers)
- Membatasi pemakaian kekerasan sampai
minimum (minimum of coercion)
- Mengakui
serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) dalam
masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta
tingkah laku.
- Menjamin
tegaknya keadilan dalam suatu demokrasi
Akhirnya dapat
dibentangkan di sini bahwa untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu
diselenggarakan beberapa lembaga sebagai berikut:
- Pemerintahan
yang bertanggung jawab
- Suatu
dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan
kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih dengan pemilihan
umum yang bebas dan rahasia atas dasar sekurang-kurangnya dua calon untuk
setiap kursi
- Suatu
organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik (sistem
dwi-partai)
- Pers
dan media massa yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan
keadilan.
Alamudi
(1991) dalam bukunya mengemukakan soko
guru demokrasi sebagai berikut:
- Kedaulatan rakyat
- Pemerintahan berdasarkan
persetujuan dari yang diperintah
- Kekuasaan mayoritas
- Hak-hak minoritas
- Jaminan hak asasi manusia
- Pemilihan yang bebas dan jujur
- Persamaan di depan hukum
- Proses hukum yang wajar
- Pembatasan pemerintah secara
konstitusional
- Pluralisme sosial, ekonomi dan
politik
- Nilai-nilai toleransi,
pragmatisme, kerjasama dan mufakat
Lebih lanjut Alimudi menjelaskan bahwa dalam negara yang
demokratis warganya bebas mengambil keputusan melalui kekuasaan mayoritas namun
tidak benar bahwa kekuasaan mayoritas itu selalu demokratis. Tidak dapat
dikatakan adil apabila warga yang berjumlah 51% diperbolehkan menindas penduduk
yang sisanya 49%. Suatu negara dapat dikatakan demokrasi apabila kekuasaan mayoritas digandengkan
dengan jaminan atas hak asasi manusia. Kelompok mayoritas dapat melindungi kaum
minoritas. Hak-hak minoritas tidak dapat dihapuskan oleh suara mayoritas. Semua
kelompok golongan atau warga negara hendaknya mendapat perlindungan hukum atau
mendapat jaminan menurut undang-undang.
BAB III
PENUTUP
III. 1 Kesimpulan
Demokrasi lahir di Yunani, sehingga kata demokrasi tersebut berasal dari
kata yunani yaitu Demos dan kratos yang berarti pemerintahan rakyat, atau yang sering
disebut pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam perkembangannya, demokrasi dibagi
menjadi 4 fase, yaitu fase klasik, fase pencerahan, fase modern, dan fase era
kontemporer. Dari keempat fase tersebut memliki banyak muatan-muata yang menyebabkan
lahirnya berbagai macam demokrasi yang dianut oleh bebagi negara di dunia saat
ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://rinawatiharini.wordpress.com/2008/06/09/perkembangan-demokrasi-di-indonesia/