“PRAHARA
SEPUTAR SUBSIDI BBM : TELISIK BENANG MERAH, MATA RANTAI IMPLIKASI, PANDANGAN ISLAM AKAN POLEMIK
TERSEBUT”
Oleh : al-akh ~ asmir KATALISATOR alfatih
LATAR BELAKANG MASALAH
Pemerintah
berencana untuk menaikkan harga BBM sebesar Rp 1.500 per liter mulai 1 April
2012. Alasan kebijakan ini diambil adalah adanya perubahan asumsi-asumsi dalam
APBN 2012 yang mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut :
1. Kenaikan harga minyak mentah (Indonesian Crude
Price, ICP) yang sudah jauh di atas $100 per barel. Harga minyak Indonesia
(ICP) bulan Februari 2012 telah mencapai USD121,75 per barel, naik dari
USD115,91 pada bulan Januari. Angka tersebut sangat jauh dari asumsi makro APBN
2012, yang mencantumkan ICP hanya sekitar USD90 per barel. Oleh karena itu,
dalam RAPBN-Perubahan 2012 asumsi ICP pun diubah menjadi US$ 105 per barel.
2. Ekonomi dunia mengalami perlambatan yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Target pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang awalnya 6.7% harus diubah menjadi 6.5%.
3. Laju inflasi yang ditetapkan pada APBN 2012 sebesar
5% diperkirakan akan mengalami peningkatan sehingga harus diubah menjadi 7%.
4. Nilai tukar rupiah yang pada awalnya berkisar Rp
8.800 per dolar saat ini sudah mencapai Rp 9.000 per dolar.
5. Suku bunga acuan mengalami perubahan yang awalnya
ditetapkan 5% berubah menjadi 6%.
6.
Target lifting yang pada awalnya ditetapkan sebesar 950.000 barel per hari
ternyata berat untuk dicapai. Oleh karena itu, dalam APBN Perubahan 2012 target
tersebut diubah menjadi 930.000 barel per hari.
SEJUMLAH KEJANGGALAN DIBALIK OPINI DAN KEBIJAKAN
PEMERINTAH
Efisiensi dan Alokasi Anggaran Belanja
Negara
Pengubahan
asumsi makroekonomi APBN diklaim pemerintah sebagai latar belakang dalam
menyesuaikan besar subsidi dalam rangka penghematan anggaran. Opsi pengurangan
subsidi langsung dipilih sebagai opsi penghematan sebelum membahas tuntas
efisiensi dari APBN itu sendiri.
Sebagaimana
yang tercantum dalam RAPBN 2012, besar subsidi untuk BBM adalah Rp 123.6
triliun. Anehnya, ketika angka tersebut diklaim membebani APBN, pemerintah sama
sekali tidak mempermasalahkan anggaran pembayaran bunga utang (baik luar maupun
dalam negeri) sebesar Rp123,1 triliun. Padahal, 77% dari seluruh total
penerimaan dan hibah APBN 2012 berasal dari pajak. Hal ini mengindikasikan uang
rakyat lebih diprioritaskan untuk membayar bunga utang daripada untuk mendanai
kebutuhan pokok masyarakat.
Di saat pemerintah
menuntut rakyat untuk menghemat anggaran APBN, kasus korupsi dan membengkaknya
anggaran belanja negara tidak pernah disandingkan. Keberadaan program-program
pemerintah yang dinilai boros anggaran (baik di lembaga eksekutif maupun legislatif)
tidak turut dibahas saat Menteri Keuangan dan Presiden meminta rakyat memahami
kondisi keuangan negara. Jika mempertimbangkan seluruh faktor ini, wajar
kebijakan pemerintah ini tidak bisa diterima oleh akal dan perasaan publik.
Penghematan Subsidi VS Kompensasi Dana
Talangan
Argumen
pemerintah untuk menghemat anggaran makin dipertanyakan jika dilakukan
perhitungan sederhana antara penghematan anggaran pasca kenaikan BBM dan
besarnya kompensasi yang harus dikeluarkan pemerintah sebagai dana talangan
kepada masyarakat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wakil Menteri ESDM
(Sindonews, 02/03/2012), jika harga minyak mengalami kenaikan dari Rp 4.500
menjadi Rp 6.000 (atau terjadi kenaikan sebesar Rp 1.500 per liternya), maka
pemerintah dapat menghemat anggaran subsidi sebesar Rp 31.5 Triliun. Sementara
itu, Menkokesra Agung Laksono (bisnis.com, 29/02/2012) mengatakan dana
kompensasi yang dipersiapkan pemerintah jika BBM mengalami kenaikan harga
adalah Rp 30 Triliun. Dengan demikian, jika jumlah penghematan anggaran
sebanding dengan biaya kompensasi, lalu untuk apa pemerintah sampai harus
menaikkan harga BBM?
Bahkan, jika pemerintah
berargumen pengalokasian subsidi yang tepat sasaran, itu pun masih belum bisa
diterima kebenarannya. Hal ini dikarenakan kompensasi bantuan untuk rakyat
miskin hanya sementara. Itupun tidak semua masyarakat yang terkena dampak
kenaikan harga BBM mendapat kompensasi. Sementara, dampak buruk kenaikan harga
BBM bersifat tetap dan kontinu juga mengakibakan efek sistemik (inflasi/lonjakan
harga).Inilah yang membuat banyak pihak bertanya-tanya. Jika sudah jelas bahwa
kebijakan ini akan memberatkan perekonomian masyarakat, dan jika jumlah
penghematan ternyata setara dengan biaya kompensasi, lalu sebenarnya untuk
kepentingan siapa kebijakan kenaikan harga BBM itu?
Karut-Marut Sistem Transportasi yang Tak
Kunjung Usai
Besar subsidi BBM yang
dikeluarkan oleh negara ditentukan oleh total konsumsi BBM. Sedangkan total
konsumsi BBM tidak lain adalah konsekuensi dari jumlah kendaraan yang
digunakan. Rendahnya daya dukung transportasi umum di tengah-tengah gempuran
produk-produk otomotif yang kian terjangkau, membuat sebagian besar rakyat
lebih memilih memiliki kendaraan pribadi dan akhirnya jumlah kendaraan pun
meningkat pesat. Dengan demikian, jika pemerintah memang benar-benar serius
untuk menghemat subsidi BBM, langkah logis dan praktis adalah memangkas jumlah
kendaraan dan memperbaiki secara tuntas sistem transportasi umum. Sayangnya,
keseriusan pemerintah dalam menangani transportasi publik tidak sebanding
dengan keseriusan pemerintah dalam mengurangi subsidi.
Pertamina Dikebiri
Sebelum era reformasi,
Pertamina adalah satu-satunya Perusahaan Negara (PN) migas nasional yang
menangani seluruh kegiatan Migas termasuk berperan sebagai mitar kerjasama
dengan Perusahaan Minyak Internasional. Pertamina adalah badan yang memegang
kendali manajemen dalam kerjasama internasional di pengelolaan hulu Migas.
Pertamina juga yang menangani seluruh kegiatan hilir (pembangunan dan operasi
kilang sampai penjualan/distibusi di dalam negeri) serta ekspor-impor Migas.
Hal ini berbeda dengan yang
terjadi ketika era reformasi. Pertamina mengalami perubahan status menjadi
perseroan (PT) dan mengubah fungsi Pertamina menjadi sama dengan Badan Usaha
Asing / Swasta baik dalam kegiatan hulu dan hilir. Hal ini tentu berkonsekuensi
pada penguasaan industri dan perdagangan migas dalam negeri yang kini lebih
dari 90% telah dikuasai oleh perusahaan asing.
PERKEMBANGAN KEBIJAKAN DAN SKEMA POLITIK
Untuk melihat apa yang
sebenarnya sedang terjadi, maka kita harus melihat alur kebijakan dengan cermat
dan komprehensif. Kenaikan harga BBM ini sendiri bukan kali pertama dan sudah
berkali-kali terjadi pascareformasi 1998. Setiap kebijakan diawali dengan
adanya regulasi dan momen politik/ekonomi tertentu. Dengan mempelajari pola
yang ada, kita bisa menelusuri apa yang sesungguhnya ada dibalik
argumen-argumen kenaikan harga BBM ini. Benarkah ini disebabkan fluktuatifnya
harga minyak dan minimnya anggaran pemerintah? Ataukah apa yang
digembar-gemborkan selama ini hanyalah pengalihan isu dan pencitraan untuk
menutupi agenda sebenarnya. Pola ini sudah sedemikian jelas dan bisa kita lihat
dari sejak
SKENARIO POLITIK YANG MENGIRINGI
KEBIJAKAN MIGAS
Legitimasi
•Letter of Intent dengan IMF
•UU Migas No. 22 Tahun 2001
Pemanasan Isu
•Subsidi memberatkan
•Konversi minyak ke gas
•Cadangan migas menipis
•Isu energi alternatif
•Subsidi salah sasaran
Momentum
•Harga minyak naik
•Krisis Ekonomi
•Inflasi
•Krisis Timur Tengah
Liberaliasasi
•Subsidi dicabut
•Harga minyak naik
•Liberalisasi migas
•Menjamurnya perusaahan asing/swasta
di sektor hulu dan hilir
Legitimasi
Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 menyentuh semua aspek kehidupan,
tidak terkecuali aspek pengelolaan energi. Dengan memikul utang yang besar,
Pemerintah RI secara resmi meminta bantuan IMF (International Monetary Funds)
untuk memulihkan perekonomian nasional. Prinsip global dan arahan IMF meliputi
:
a) Keterbukaan usaha,
termasuk seluruh kegiatan Migas harus terbuka bagi perusahaan-perusahaan
internasional.
b) Monopoli tidak
sesuai dengan hukum ekonomi modern.
c) Untuk meningkatkan
kompetisi BUMN harus diprivatisasi.
d)
Subsidi harus dihapus.
Dua
sektor energi yang diprioritaskan IMF untuk diliberaliasi yaitu pengelolaan
listrik dan migas. Di sektor migas, pemerintah wajib melaksanakan kebijakan
liberaliasi dengan penendatangan Letter of Intent (LoI) yang salah satu
butir kesepakatannya adalah menghapus subsidi bahan bakar migas (BBM) dan mengizinkan
masuknya perusahaan multi nasional, serta mengubah status Pertamina menjadi
perseroan (PT) dengan fungsi yang sama dengan badan usaha asing baik dalam
kegiatan hulu maupun hilir. Kesepakatan tentang liberaliasasi Migas kemudian
dituangkan dalam UU No. 22 Tahun 2001 yang ditetapkan pada 23 November 2001 di
masa Pemerintahan Megawati.
UU Migas
No. 22 tahun 2001 menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha
Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang
diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan
transparan (Pasal 2). Kemudian kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir
dapat dilaksanakan oleh : Badan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah,
Koperasi, Usaha Kecil, Badan Usaha Swasta (Pasal 9).
Pemanasan Isu
Upaya
liberalisasi tersebut ternyata tidak serta merta dapat dilakukan. Dengan
melihat situasi politik dan masyarakat maka perlu dibuat sebuah alur kebijakan
sehingga pada akhirnya kebijakan tersebut bisa diterima dan dijalankan oleh
masyarakat.
Dalam
tahap ini pemerintah pernah berupaya untuk mengalihkan konsumsi BBM bersubsidi
ke non-subsidi. Mobil pelat hitam tak boleh seenaknya menggunakan premium dan
solar. Juga melakukan penghematan konsumsi BBM yang dari tahun ke tahun yang
mengalami kenaikan 6% - 7%. Serta program konversi BBM bersubsidi ke bahan
bakar gas (BBG) jenis compressed natural gas (CNG) dan liquefied gas
for vehicle (LGV) atau Vi-Gas.
Namun
konversi BBM ke gas tersebut ternyata menemui banyak kendala dan pemerintah pun
belum siap menjalankannya. Hal ini diungkapkan langsung oleh Menteri Energi
Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. "Program konversi BBM ke BBG
ribet, itu menjadi tak efesien. Apalagi konversi bukan satu-satunya cara buat
mengerem konsumsi emas hitam. Banyak opsi. Salah satunya, adalah menaikkan
harga BBM premium," (Metrotvnews.com, 19/01/2012).
Momentum
a) Kenaikan 1 Maret 2005 (Perpres No 22
tahun 2005)
Berdasarkan
data, besarnya subsidi BBM yang dicantumkan dalam APBN 2005 pada akhir tahun
2004 lalu adalah sebesar Rp19 triliun dengan asumsi harga minyak dunia adalah
US$ 24 per barrel, kurs Rp 8.600. Pada perkembangannya yaitu awal tahun 2005,
harga minyak dunia justru meningkat dan jauh di atas asumsi APBN yaitu US$35
per barrel dan bahkan pada perkembangan selanjutnya, harga minyak dunia selalu
di atas US$50 per barrel dan kurs rupiah rata-rata diatas Rp 8.900. Akibatnya,
realisasi pengeluaran subsidi BBM dalam bulan pertama tahun 2005 telah mencapai
Rp15 triliun dan dikhawatirkan akan terus membengkak jika tidak segera
dilakukan penyesuaian harga BBM. Akhirnya, hal ini lah yang melatarbelakangi
lahirnya kebijakan pemerintah tentang penyesuaian harga BBM pada tanggal 28
Februari 2005 dan berlaku efektif mulai tanggal 1 Maret 2005. Penyesuaian harga
jual BBM dalam negeri ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 22 tahun
2005.
b) Kenaikan 1 Oktober 2005 (Perpres No
55 tahun 2005)
Setelah terjadi kenaikan harga
minyak dunia pada awal tahun 2005 yang kemudian menyebabkan kenaikan harga
penjualan BBM dalam negeri tanggal 1 Maret 2005, pemerintah pada bulan itu juga
melakukan langkah penyesuaian APBN yang tercantum dalam APBN-P 2005. Pemerintah
mengajukan rancangan APBN-P tersebut kepada DPR pada tanggal 23 Maret 2005.
Dalam APBN-P 2005 tersebut, pemerintah menetapkan asumsi harga minyak dunia
sebesar US$35 per barrel dengan asumsi kurs Rp 8.900 per dollar AS. Namun
seiring berjalannya waktu, harga minyak dunia justru semakin meningkat dan
mencapai kisaran US$ 68 per barrel dengan nilai kurs Rp 10.900 per dollar AS.
Lagi-lagi hal ini membuat pemerintah merasa khawatir karena membengkaknya
jumlah subsidi BBM karena ketidaksesuaian asumsi yang sudah ditetapkan sehingga
perlu dilakukan penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri. Keputusan tersebut
tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2005 yang ditetapkan tanggal
30 September 2005 dan mulai berlaku efektif tanggal 1 Oktober 2005. Kenaikan
harga BBM kali ini tergolong sangat ”luar biasa” karena rata-rata mencapai
angka 128%.
c) Kenaikan 24 Mei 2008 (Per Menteri ESDM No 16 tahun 2008)
Dalam APBN 2008 yang ditetapkan
tanggal 6 November 2007, besarnya subsidi BBM adalah Rp 45,8 triliun dengan
asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 60 per barrel. Selanjutnya karena harga
minyak mentah dunia yang cenderung meningkat, APBN tersebut mengalami
penyesuaian. Berdasarkan APBN-P 2008, harga minyak mentah dunia dipatok sebesar
US$ 95 per barrel. Dengan asumsi demikian, maka jumlah subsidi BBM yang
direncanakan adalah sebesar Rp 126,8 triliun. Namun dalam perkembangannya,
nilai asumsi tersebut juga menjadi tidak realistis lagi karena harga minyak
mentah dunia yang terus mengalami peningkatan. Harga minyak mentah dunia sejak
awal tahun 2008 selalu mengalami peningkatan yang cukup signifikan dan
rata-rata selalu berada di atas kisaran US$100 per barrel. Pada triwulan
pertama 2008 harga minyak mentah dunia tidak pernah bergeser dari angka
rata-rata US$ 120 per barrel dan bahkan dikhawatirkan akan menyentuh angka US$
150 per barrel. Akibat dari kenaikan tersebut, beban subsidi pun membengkak dan
melebihi angka Rp 200 triliun. Akhirnya pemerintah kembali melakukan
penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri rata-rata sebesar 28,7% melalui
Peraturan Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) No 16 tahun 2008 yang
ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2008 dan mulai berlaku efektif sejak tanggal 24
Mei 2008.
Liberalisasi
Merujuk data produksi minyak
ESDM 2009, dari total produksi minyak dan kondensat di Indonesia, Pertamina
hanya mampu memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta khususnya asing
seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco Philips (3,6%)
dan CNOOC (4,6%). Belum lagi pemerintah melalui BP Migas justru lebih
memprioritaskan untuk memperpanjang kontrak-kontrak pengelolaan ladang minyak
kepada pihak swasta ketimbang menyerahkannnya kepada Pertamina. Di sisi lain
dengan UU Migas 22/2001, Pertamina yang sebelumnya juga bertindak sebagai
regulator disejajarkan dengan perusahaan swasta sehingga harus bersaing untuk
mendapatkan konsesi pengelolaan ladang minyak dari BP Migas.
Kebijakan pemerintah
melakukan liberalisasi dan membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi membuat SPBU asing menyerbu pasar Indonesia. Hal ini selaras dengan
yang disampaikan oleh Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan bahwa dengan
kebijakan pembatasan tersebut, akan meningkatkan permintaan BBM nonsubsidi. Hal
itu otomatis akan membuka peluang pasar produk BBM nonsubsidi bagi para pelaku
bisnis hilir minyak dan gas, termasuk perusahaan-perusahaan asing.
TUJUAN
AKHIR : LIBERALISASI MIGAS DAN KEPENTINGAN ASING
Indikasi adanya
liberalisasi migas yang menjadi akhir dari skema politik di atas divalidasi
dengan berbagai perjanjian politik luar negeri Indonesia dan IMF. Pada tahun
2000, upaya restrukturisasi Pertamina dan internasionalisasi harga mulai
dikampanyekan oleh IMF. Hal ini tercantum dalam Memorandum of Economic and
Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000) yang menyatakan : “In the oil
and gas sector, the government is firmly committed to the following actions:
replacing existing laws with a modern legal framework; restructuring and
reforming Pertamina; ensuring that fiscal terms and regulations for exploration
and production remain internationally competitive; allowing domestic product
prices to reflect international market levels…” (pada sektor migas,
Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih
modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin
bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi
tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan
harga internasional).
Kemudian setahun
setelahnya, ide menghapuskan subsidi BBM pun dicetuskan dan komersialisasi
listrik mulai digaungkan. Hal ini tercantum dalam Memorandum of Economic and
Financial Policies (LoI IMF, July 2001): ”The government remains
strongly committed to the comprehensive legal and policy reforms for the energy
sector outlined in the MEFP of January 2000. In particular, two new laws
concerning Electric Power and Oil and Natural Gas will be submitted to
Parliament during September. The Ministry of Mines and Energy has prepared
medium term plans to phase out fuel subsidies and restore electricity tariffs
to commercially viable levels.” (Pemerintah [Indonesia] berkomitmen penuh
untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus
pada bulan September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR.
Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah
untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarifl listrik sesuai
dengan tarif komersil.”
Mengamini kedua arahan
tersebut, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro pun ikut berkomentar, “Liberalisasi
sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi
dalam bisnis eceran migas.... Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak
harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena
disubsidi, pemain asing enggan masuk.'' (Kompas, 14 Mei 2003). Pernyataan
tersebut makin menegaskan bahwa kepentingan dari pengurangan subsidi adalah
untuk bisnis dari pemain asing (yang saat ini telah menguasai lebih dari 90%
industri migas nasional). Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan: Saat
ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor
hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust,
edisi 11/2004). Diantaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British
Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas
(Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
Dengan
demikian, maka jelaslah bahwa liberalisasi energi telah berjalan secara
sistemis dari tahun 2000 hingga sekarang. Adapun penarikan subsidi BBM
dilakukan tidak lain adalah untuk membuka pasar dalam negeri (terutama sektor
hilir/penjualan) kepada pemain asing.
SOLUSI
ALA ISLAM
Permasalahan BBM
muncul karena diterapkannya ideologi sekulerisme-kapitalisme yang memberikan
kebebasan dalam kepemilikan serta dikuranginya peran negara untuk mengatur
rakyatnya. Sebagai sebuah sistem kehidupan (tandzim al-hayat), Islam
telah memberikan panduan dalam pengaturan sumber-sumber daya energi.
Islam Mengatur Konsep Kepemilikan
Minyak bumi dan
gas merupakan sumber daya alam yang melimpah sehingga masuk dalam kategori
barang milik publik (al-milkiyyah al-ammah) yang pengelolaannya harus
diserahkan kepada negara dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik.
Dengan demikian ia tidak boleh diserahkan/dikuasakan kepada swasta apalagi
asing.
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى
رَسُولِ اللََِّّ صَ لَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ
ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى
قَالَ رَجُلٌ مِنْ
الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ
قَالَ فَانْتَزَعَ مِ نْهُ
“Sesungguhnya,
Abyad bin Hammal mendatangi Rasulullah saw, dan meminta beliau saw agar
memberikan tambang garam kepadanya. Ibnu al-Mutawakkil berkata,”Yakni tambang
garam yang ada di daerah Ma’rib.” Nabi saw pun memberikan tambang itu
kepadanya. Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang
ada di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikat
kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti
air mengalir (al-maa’ al-‘idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah
saw mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal)”.(HR.
Imam Abu Dawud)
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking