Donderdag 23 Mei 2013

karya anak bangsa paham syariah


“PRAHARA SEPUTAR SUBSIDI BBM : TELISIK BENANG MERAH, MATA RANTAI  IMPLIKASI, PANDANGAN ISLAM AKAN POLEMIK TERSEBUT”
Oleh : al-akh ~ asmir KATALISATOR alfatih

LATAR BELAKANG MASALAH

Pemerintah berencana untuk menaikkan harga BBM sebesar Rp 1.500 per liter mulai 1 April 2012. Alasan kebijakan ini diambil adalah adanya perubahan asumsi-asumsi dalam APBN 2012 yang mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut :
1. Kenaikan harga minyak mentah (Indonesian Crude Price, ICP) yang sudah jauh di atas $100 per barel. Harga minyak Indonesia (ICP) bulan Februari 2012 telah mencapai USD121,75 per barel, naik dari USD115,91 pada bulan Januari. Angka tersebut sangat jauh dari asumsi makro APBN 2012, yang mencantumkan ICP hanya sekitar USD90 per barel. Oleh karena itu, dalam RAPBN-Perubahan 2012 asumsi ICP pun diubah menjadi US$ 105 per barel.
2. Ekonomi dunia mengalami perlambatan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang awalnya 6.7% harus diubah menjadi 6.5%.
3. Laju inflasi yang ditetapkan pada APBN 2012 sebesar 5% diperkirakan akan mengalami peningkatan sehingga harus diubah menjadi 7%.
4. Nilai tukar rupiah yang pada awalnya berkisar Rp 8.800 per dolar saat ini sudah mencapai Rp 9.000 per dolar.
5. Suku bunga acuan mengalami perubahan yang awalnya ditetapkan 5% berubah menjadi 6%.
6. Target lifting yang pada awalnya ditetapkan sebesar 950.000 barel per hari ternyata berat untuk dicapai. Oleh karena itu, dalam APBN Perubahan 2012 target tersebut diubah menjadi 930.000 barel per hari.







SEJUMLAH KEJANGGALAN DIBALIK OPINI DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH

 Efisiensi dan Alokasi Anggaran Belanja Negara
Pengubahan asumsi makroekonomi APBN diklaim pemerintah sebagai latar belakang dalam menyesuaikan besar subsidi dalam rangka penghematan anggaran. Opsi pengurangan subsidi langsung dipilih sebagai opsi penghematan sebelum membahas tuntas efisiensi dari APBN itu sendiri.
Sebagaimana yang tercantum dalam RAPBN 2012, besar subsidi untuk BBM adalah Rp 123.6 triliun. Anehnya, ketika angka tersebut diklaim membebani APBN, pemerintah sama sekali tidak mempermasalahkan anggaran pembayaran bunga utang (baik luar maupun dalam negeri) sebesar Rp123,1 triliun. Padahal, 77% dari seluruh total penerimaan dan hibah APBN 2012 berasal dari pajak. Hal ini mengindikasikan uang rakyat lebih diprioritaskan untuk membayar bunga utang daripada untuk mendanai kebutuhan pokok masyarakat.
Di saat pemerintah menuntut rakyat untuk menghemat anggaran APBN, kasus korupsi dan membengkaknya anggaran belanja negara tidak pernah disandingkan. Keberadaan program-program pemerintah yang dinilai boros anggaran (baik di lembaga eksekutif maupun legislatif) tidak turut dibahas saat Menteri Keuangan dan Presiden meminta rakyat memahami kondisi keuangan negara. Jika mempertimbangkan seluruh faktor ini, wajar kebijakan pemerintah ini tidak bisa diterima oleh akal dan perasaan publik.

 Penghematan Subsidi VS Kompensasi Dana Talangan
Argumen pemerintah untuk menghemat anggaran makin dipertanyakan jika dilakukan perhitungan sederhana antara penghematan anggaran pasca kenaikan BBM dan besarnya kompensasi yang harus dikeluarkan pemerintah sebagai dana talangan kepada masyarakat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wakil Menteri ESDM (Sindonews, 02/03/2012), jika harga minyak mengalami kenaikan dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 (atau terjadi kenaikan sebesar Rp 1.500 per liternya), maka pemerintah dapat menghemat anggaran subsidi sebesar Rp 31.5 Triliun. Sementara itu, Menkokesra Agung Laksono (bisnis.com, 29/02/2012) mengatakan dana kompensasi yang dipersiapkan pemerintah jika BBM mengalami kenaikan harga adalah Rp 30 Triliun. Dengan demikian, jika jumlah penghematan anggaran sebanding dengan biaya kompensasi, lalu untuk apa pemerintah sampai harus menaikkan harga BBM?
Bahkan, jika pemerintah berargumen pengalokasian subsidi yang tepat sasaran, itu pun masih belum bisa diterima kebenarannya. Hal ini dikarenakan kompensasi bantuan untuk rakyat miskin hanya sementara. Itupun tidak semua masyarakat yang terkena dampak kenaikan harga BBM mendapat kompensasi. Sementara, dampak buruk kenaikan harga BBM bersifat tetap dan kontinu juga mengakibakan efek sistemik (inflasi/lonjakan harga).Inilah yang membuat banyak pihak bertanya-tanya. Jika sudah jelas bahwa kebijakan ini akan memberatkan perekonomian masyarakat, dan jika jumlah penghematan ternyata setara dengan biaya kompensasi, lalu sebenarnya untuk kepentingan siapa kebijakan kenaikan harga BBM itu?

 Karut-Marut Sistem Transportasi yang Tak Kunjung Usai
Besar subsidi BBM yang dikeluarkan oleh negara ditentukan oleh total konsumsi BBM. Sedangkan total konsumsi BBM tidak lain adalah konsekuensi dari jumlah kendaraan yang digunakan. Rendahnya daya dukung transportasi umum di tengah-tengah gempuran produk-produk otomotif yang kian terjangkau, membuat sebagian besar rakyat lebih memilih memiliki kendaraan pribadi dan akhirnya jumlah kendaraan pun meningkat pesat. Dengan demikian, jika pemerintah memang benar-benar serius untuk menghemat subsidi BBM, langkah logis dan praktis adalah memangkas jumlah kendaraan dan memperbaiki secara tuntas sistem transportasi umum. Sayangnya, keseriusan pemerintah dalam menangani transportasi publik tidak sebanding dengan keseriusan pemerintah dalam mengurangi subsidi.

 Pertamina Dikebiri
Sebelum era reformasi, Pertamina adalah satu-satunya Perusahaan Negara (PN) migas nasional yang menangani seluruh kegiatan Migas termasuk berperan sebagai mitar kerjasama dengan Perusahaan Minyak Internasional. Pertamina adalah badan yang memegang kendali manajemen dalam kerjasama internasional di pengelolaan hulu Migas. Pertamina juga yang menangani seluruh kegiatan hilir (pembangunan dan operasi kilang sampai penjualan/distibusi di dalam negeri) serta ekspor-impor Migas.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi ketika era reformasi. Pertamina mengalami perubahan status menjadi perseroan (PT) dan mengubah fungsi Pertamina menjadi sama dengan Badan Usaha Asing / Swasta baik dalam kegiatan hulu dan hilir. Hal ini tentu berkonsekuensi pada penguasaan industri dan perdagangan migas dalam negeri yang kini lebih dari 90% telah dikuasai oleh perusahaan asing.





PERKEMBANGAN KEBIJAKAN DAN SKEMA POLITIK

Untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi, maka kita harus melihat alur kebijakan dengan cermat dan komprehensif. Kenaikan harga BBM ini sendiri bukan kali pertama dan sudah berkali-kali terjadi pascareformasi 1998. Setiap kebijakan diawali dengan adanya regulasi dan momen politik/ekonomi tertentu. Dengan mempelajari pola yang ada, kita bisa menelusuri apa yang sesungguhnya ada dibalik argumen-argumen kenaikan harga BBM ini. Benarkah ini disebabkan fluktuatifnya harga minyak dan minimnya anggaran pemerintah? Ataukah apa yang digembar-gemborkan selama ini hanyalah pengalihan isu dan pencitraan untuk menutupi agenda sebenarnya. Pola ini sudah sedemikian jelas dan bisa kita lihat dari sejak


SKENARIO POLITIK YANG MENGIRINGI KEBIJAKAN MIGAS

Legitimasi
•Letter of Intent dengan IMF
•UU Migas No. 22 Tahun 2001

Pemanasan Isu
•Subsidi memberatkan
•Konversi minyak ke gas
•Cadangan migas menipis
•Isu energi alternatif
•Subsidi salah sasaran

Momentum
•Harga minyak naik
•Krisis Ekonomi
•Inflasi
•Krisis Timur Tengah

Liberaliasasi
•Subsidi dicabut
•Harga minyak naik
•Liberalisasi migas
•Menjamurnya perusaahan asing/swasta di sektor hulu dan hilir
Legitimasi
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 menyentuh semua aspek kehidupan, tidak terkecuali aspek pengelolaan energi. Dengan memikul utang yang besar, Pemerintah RI secara resmi meminta bantuan IMF (International Monetary Funds) untuk memulihkan perekonomian nasional. Prinsip global dan arahan IMF meliputi :
a) Keterbukaan usaha, termasuk seluruh kegiatan Migas harus terbuka bagi perusahaan-perusahaan internasional.
b) Monopoli tidak sesuai dengan hukum ekonomi modern.
c) Untuk meningkatkan kompetisi BUMN harus diprivatisasi.
d) Subsidi harus dihapus.

Dua sektor energi yang diprioritaskan IMF untuk diliberaliasi yaitu pengelolaan listrik dan migas. Di sektor migas, pemerintah wajib melaksanakan kebijakan liberaliasi dengan penendatangan Letter of Intent (LoI) yang salah satu butir kesepakatannya adalah menghapus subsidi bahan bakar migas (BBM) dan mengizinkan masuknya perusahaan multi nasional, serta mengubah status Pertamina menjadi perseroan (PT) dengan fungsi yang sama dengan badan usaha asing baik dalam kegiatan hulu maupun hilir. Kesepakatan tentang liberaliasasi Migas kemudian dituangkan dalam UU No. 22 Tahun 2001 yang ditetapkan pada 23 November 2001 di masa Pemerintahan Megawati.
UU Migas No. 22 tahun 2001 menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan (Pasal 2). Kemudian kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dapat dilaksanakan oleh : Badan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha Kecil, Badan Usaha Swasta (Pasal 9).
Pemanasan Isu
Upaya liberalisasi tersebut ternyata tidak serta merta dapat dilakukan. Dengan melihat situasi politik dan masyarakat maka perlu dibuat sebuah alur kebijakan sehingga pada akhirnya kebijakan tersebut bisa diterima dan dijalankan oleh masyarakat.
Dalam tahap ini pemerintah pernah berupaya untuk mengalihkan konsumsi BBM bersubsidi ke non-subsidi. Mobil pelat hitam tak boleh seenaknya menggunakan premium dan solar. Juga melakukan penghematan konsumsi BBM yang dari tahun ke tahun yang mengalami kenaikan 6% - 7%. Serta program konversi BBM bersubsidi ke bahan bakar gas (BBG) jenis compressed natural gas (CNG) dan liquefied gas for vehicle (LGV) atau Vi-Gas.
Namun konversi BBM ke gas tersebut ternyata menemui banyak kendala dan pemerintah pun belum siap menjalankannya. Hal ini diungkapkan langsung oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. "Program konversi BBM ke BBG ribet, itu menjadi tak efesien. Apalagi konversi bukan satu-satunya cara buat mengerem konsumsi emas hitam. Banyak opsi. Salah satunya, adalah menaikkan harga BBM premium," (Metrotvnews.com, 19/01/2012).

Momentum
a) Kenaikan 1 Maret 2005 (Perpres No 22 tahun 2005)
Berdasarkan data, besarnya subsidi BBM yang dicantumkan dalam APBN 2005 pada akhir tahun 2004 lalu adalah sebesar Rp19 triliun dengan asumsi harga minyak dunia adalah US$ 24 per barrel, kurs Rp 8.600. Pada perkembangannya yaitu awal tahun 2005, harga minyak dunia justru meningkat dan jauh di atas asumsi APBN yaitu US$35 per barrel dan bahkan pada perkembangan selanjutnya, harga minyak dunia selalu di atas US$50 per barrel dan kurs rupiah rata-rata diatas Rp 8.900. Akibatnya, realisasi pengeluaran subsidi BBM dalam bulan pertama tahun 2005 telah mencapai Rp15 triliun dan dikhawatirkan akan terus membengkak jika tidak segera dilakukan penyesuaian harga BBM. Akhirnya, hal ini lah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan pemerintah tentang penyesuaian harga BBM pada tanggal 28 Februari 2005 dan berlaku efektif mulai tanggal 1 Maret 2005. Penyesuaian harga jual BBM dalam negeri ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2005.

b) Kenaikan 1 Oktober 2005 (Perpres No 55 tahun 2005)
Setelah terjadi kenaikan harga minyak dunia pada awal tahun 2005 yang kemudian menyebabkan kenaikan harga penjualan BBM dalam negeri tanggal 1 Maret 2005, pemerintah pada bulan itu juga melakukan langkah penyesuaian APBN yang tercantum dalam APBN-P 2005. Pemerintah mengajukan rancangan APBN-P tersebut kepada DPR pada tanggal 23 Maret 2005. Dalam APBN-P 2005 tersebut, pemerintah menetapkan asumsi harga minyak dunia sebesar US$35 per barrel dengan asumsi kurs Rp 8.900 per dollar AS. Namun seiring berjalannya waktu, harga minyak dunia justru semakin meningkat dan mencapai kisaran US$ 68 per barrel dengan nilai kurs Rp 10.900 per dollar AS. Lagi-lagi hal ini membuat pemerintah merasa khawatir karena membengkaknya jumlah subsidi BBM karena ketidaksesuaian asumsi yang sudah ditetapkan sehingga perlu dilakukan penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri. Keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2005 yang ditetapkan tanggal 30 September 2005 dan mulai berlaku efektif tanggal 1 Oktober 2005. Kenaikan harga BBM kali ini tergolong sangat ”luar biasa” karena rata-rata mencapai angka 128%.


c) Kenaikan 24 Mei 2008 (Per Menteri ESDM No 16 tahun 2008)
Dalam APBN 2008 yang ditetapkan tanggal 6 November 2007, besarnya subsidi BBM adalah Rp 45,8 triliun dengan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 60 per barrel. Selanjutnya karena harga minyak mentah dunia yang cenderung meningkat, APBN tersebut mengalami penyesuaian. Berdasarkan APBN-P 2008, harga minyak mentah dunia dipatok sebesar US$ 95 per barrel. Dengan asumsi demikian, maka jumlah subsidi BBM yang direncanakan adalah sebesar Rp 126,8 triliun. Namun dalam perkembangannya, nilai asumsi tersebut juga menjadi tidak realistis lagi karena harga minyak mentah dunia yang terus mengalami peningkatan. Harga minyak mentah dunia sejak awal tahun 2008 selalu mengalami peningkatan yang cukup signifikan dan rata-rata selalu berada di atas kisaran US$100 per barrel. Pada triwulan pertama 2008 harga minyak mentah dunia tidak pernah bergeser dari angka rata-rata US$ 120 per barrel dan bahkan dikhawatirkan akan menyentuh angka US$ 150 per barrel. Akibat dari kenaikan tersebut, beban subsidi pun membengkak dan melebihi angka Rp 200 triliun. Akhirnya pemerintah kembali melakukan penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri rata-rata sebesar 28,7% melalui Peraturan Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) No 16 tahun 2008 yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2008 dan mulai berlaku efektif sejak tanggal 24 Mei 2008.

Liberalisasi
Merujuk data produksi minyak ESDM 2009, dari total produksi minyak dan kondensat di Indonesia, Pertamina hanya mampu memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta khususnya asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Belum lagi pemerintah melalui BP Migas justru lebih memprioritaskan untuk memperpanjang kontrak-kontrak pengelolaan ladang minyak kepada pihak swasta ketimbang menyerahkannnya kepada Pertamina. Di sisi lain dengan UU Migas 22/2001, Pertamina yang sebelumnya juga bertindak sebagai regulator disejajarkan dengan perusahaan swasta sehingga harus bersaing untuk mendapatkan konsesi pengelolaan ladang minyak dari BP Migas.
Kebijakan pemerintah melakukan liberalisasi dan membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi membuat SPBU asing menyerbu pasar Indonesia. Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan bahwa dengan kebijakan pembatasan tersebut, akan meningkatkan permintaan BBM nonsubsidi. Hal itu otomatis akan membuka peluang pasar produk BBM nonsubsidi bagi para pelaku bisnis hilir minyak dan gas, termasuk perusahaan-perusahaan asing.

TUJUAN AKHIR : LIBERALISASI MIGAS DAN KEPENTINGAN ASING

Indikasi adanya liberalisasi migas yang menjadi akhir dari skema politik di atas divalidasi dengan berbagai perjanjian politik luar negeri Indonesia dan IMF. Pada tahun 2000, upaya restrukturisasi Pertamina dan internasionalisasi harga mulai dikampanyekan oleh IMF. Hal ini tercantum dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000) yang menyatakan : “In the oil and gas sector, the government is firmly committed to the following actions: replacing existing laws with a modern legal framework; restructuring and reforming Pertamina; ensuring that fiscal terms and regulations for exploration and production remain internationally competitive; allowing domestic product prices to reflect international market levels…” (pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional).
Kemudian setahun setelahnya, ide menghapuskan subsidi BBM pun dicetuskan dan komersialisasi listrik mulai digaungkan. Hal ini tercantum dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001): ”The government remains strongly committed to the comprehensive legal and policy reforms for the energy sector outlined in the MEFP of January 2000. In particular, two new laws concerning Electric Power and Oil and Natural Gas will be submitted to Parliament during September. The Ministry of Mines and Energy has prepared medium term plans to phase out fuel subsidies and restore electricity tariffs to commercially viable levels.” (Pemerintah [Indonesia] berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada bulan September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarifl listrik sesuai dengan tarif komersil.”
Mengamini kedua arahan tersebut, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro pun ikut berkomentar, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas.... Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.'' (Kompas, 14 Mei 2003). Pernyataan tersebut makin menegaskan bahwa kepentingan dari pengurangan subsidi adalah untuk bisnis dari pemain asing (yang saat ini telah menguasai lebih dari 90% industri migas nasional). Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan: Saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004). Diantaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika). Dengan demikian, maka jelaslah bahwa liberalisasi energi telah berjalan secara sistemis dari tahun 2000 hingga sekarang. Adapun penarikan subsidi BBM dilakukan tidak lain adalah untuk membuka pasar dalam negeri (terutama sektor hilir/penjualan) kepada pemain asing.


SOLUSI ALA ISLAM

Permasalahan BBM muncul karena diterapkannya ideologi sekulerisme-kapitalisme yang memberikan kebebasan dalam kepemilikan serta dikuranginya peran negara untuk mengatur rakyatnya. Sebagai sebuah sistem kehidupan (tandzim al-hayat), Islam telah memberikan panduan dalam pengaturan sumber-sumber daya energi.


Islam Mengatur Konsep Kepemilikan
Minyak bumi dan gas merupakan sumber daya alam yang melimpah sehingga masuk dalam kategori barang milik publik (al-milkiyyah al-ammah) yang pengelolaannya harus diserahkan kepada negara dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik. Dengan demikian ia tidak boleh diserahkan/dikuasakan kepada swasta apalagi asing.

أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللََِّّ صَ لَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى
قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِ نْهُ
Sesungguhnya, Abyad bin Hammal mendatangi Rasulullah saw, dan meminta beliau saw agar memberikan tambang garam kepadanya. Ibnu al-Mutawakkil berkata,”Yakni tambang garam yang ada di daerah Ma’rib.” Nabi saw pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikat kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal)”.(HR. Imam Abu Dawud)

Kaum Muslim memiliki

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking