Dinsdag 17 September 2013

real fact of indonesia


Republik Kapling
Oleh Tamrin Amal Tomagola
PARA nasionalis-fanatik Indonesia, khususnya mereka yang mengacu pada paham state nationalism, cenderung dengan mata mendelik mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI sebagai wujud final yang haram untuk ditawar, baik sebagai sekadar gagasan maupun dalam gerakan separatis secara damai, apalagi bersenjata.
Sambil menabuh genderang perang terhadap setiap gerakan pemecah belah, khususnya para separatis dan aktivis LSM yang dinilai tidak nasionalis-almarhum Munir misalnya-mereka terus berilusi bahwa tubuh Ibu Pertiwi NKRI itu masih utuh.
Maraknya pengaplingan
Mereka cenderung menutup mata terhadap kenyataan yang telah mulai mengeras sejak masa Orde Baru bahwa sesungguhnya setiap jengkal dan petak bumi Nusantara ini telah dipecah-pecah dalam satuan kapling ekonomi-politik. Ukuran kapling-kapling itu bervariasi sesuai dengan skala modal yang ditanam dan jumlah upeti yang diselundupkan ke rekening pejabat negara dan daerah serta para anggota DPR pusat dan daerah.
Bukit-bukit Timika untuk Freeport, Lhok Seumawe untuk Exon Mobil, beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan untuk Monsanto, Buyat- Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua Barat untuk British Petroleum, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, hutan Papua untuk sejumlah jenderal pensiunan. Bahkan, Pulau Dewata kebanggaan Indonesia di Bali nyaris menjadi negara bagian ke-9 Australia. Semakin banyak usaha ekonomi-kesenian skala menengah dan besar di Bali dan Jepara, Jawa Tengah, berpindah tangan ke pemodal asing. Satu-satunya Taman Burung di Bali pun berada di tangan pemodal asing.
Teori Pembangunan Masyarakat Dosen: Suharyanto  
Aufie’s scripts 22
Tidak hanya tubuh Ibu Pertiwi yang sudah centang-perenang dikapling, birokrasi negara-sipil dan militer-baik pada tingkat nasional dan daerah sudah lama tercabik-cabik dikapling-kapling oleh berbagai satuan mafia birokrat dengan sistem sel berjenjang yang rumit merata di seluruh Nusantara tanpa kecuali. Bila Direktorat Jenderal Pajak, Bea dan Cukai, serta Ditjen Anggaran Depkeu belum telanjur diduduki oleh satuan-satuan tikus berseragam, kita masih dapat berharap bahwa pajak yang dibayar oleh perusahaan asing maupun nasional masih dapat diselamatkan dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat.
Bila di departemen yang dulu bernama Pekerjaan Umum (PU) juga sunyi dari pemalak-pemalak berseragam, maka kita masih dapat berharap bahwa jalan-jalan tidak berlubang-lubang. Bila di Departemen Perhubungan tidak terjadi pengaplingan proyek, maka kita tentu saja layak bermimpi punya pelabuhan-pelabuhan-darat, laut, udara, dan sungai-yang mampu beroperasi lebih lama dari seumur jagung. Bila Departemen Pendidikan Nasional mampu menghentikan lagu lama Love Me Tender tentu saja anak-anak dapat diselamatkan dari kebingungan gonta-ganti buku pelajaran dan pemaksaan ujian nasional yang beruang 45 miliar rupiah
Dan yang paling tragis adalah Departemen Sosial dengan seluruh jajarannya di daerah-daerah di mana dana pengungsi bermiliar rupiah ludes tanpa dapat dilacak. Di wilayah konflik dan bencana malah dana- dana itu dipakai untuk tim sukses meraih suatu jabatan tertentu seperti yang dilaporkan Sdr Arianto Sangaji dalam tulisannya berjudul "Proyek Kekerasan di Sulawesi Tengah" (Kompas, 14/12/2004). Begitu haus dan rakusnya para pejabat sipil adigang-adigung ini melahap semua lahan- lahan finansial ini sampai-sampai lapangan parkir, termasuk di kampus- kampus (sic!) telah dikapling-kapling.
Aparat penegak hukum dan keamanan juga tidak mau ketinggalan dalam pesta nasional mengkapling-kapling bumi pertiwi dan birokrasi negara serta daerah. Setiap perempatan jalan dan tempat-tempat hiburan di kota- kota serta pangkalan ojek secara teratur mempersembahkan upeti dalam jumlah berkali-kali lipat gaji seorang kepala polres. Suatu perkara dapat ditelantarkan bertahun-tahun tanpa kabar (kasus pembobolan BNI misalnya) bila ada intervensi kekuasaan uang atau politik-administratif. Lembaga Kejaksaan, menurut seorang pengamat kepolisian, malah jauh lebih parah dalam memeras para tersangka. Porsi upeti sebanding dengan
Teori Pembangunan Masyarakat Dosen: Suharyanto  
Aufie’s scripts 23
luasnya kapling otoritas jaksa tertentu. Para hakim juga setali tiga uang dengan rekan-rekan mereka di Kejaksaan. Beberapa faksi militer menjadi pelindung dan bahkan pelaku dalam illegal logging, pencurian ikan laut, perkebunan, dan perdagangan ganja. Keamanan menjadi komoditas yang dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga para aparat keamanan selalu tampil sebagai pahlawan pengawal dan pembela NKRI dan penjamin keamanan rakyat. Dalam kenyataannya, mereka lebih sibuk menjaga keamanan kapling-kapling satuan kepentingan, baik finansial maupun promosi kenaikan pangkat mereka sendiri.
Negara semakin impoten
Keadaan NKRI yang sudah sedemikian dikeroposi dan digembosi dari dalam oleh aparat birokrasinya sendiri nyaris memustahilkan efektifnya pelaksanaan setiap kebijakan maupun perangkat perundang-undangan yang ada. Bagaimana bisa suatu kebijakan nasional ditegakkan bila daftar isi dokumen kebijakan (Propenas misalnya) juga sudah dikapling-kapling. Bab sekian untuk departemen A. Subbab sekian sampai sekian untuk Ditjen A1, sedangkan subbab sisanya untuk Ditjen A2 dan A3.
Adalah menarik menyaksikan bagaimana para wakil setiap bagian dari birokrasi itu berdebat berjam-jam tentang penggunaan istilah tertentu. Ternyata tiap istilah yang digunakan punya implikasi di bagian mana sebuah proyek berikut dananya akan dialokasikan. Belum lagi bila bagian birokrasi tertentu harus berhadapan baik dengan aparat Ditjen Anggaran, Depkeu, maupun Bappenas dalam suatu dagang sapi proyek yang sangat merendahkan martabat bangsa.
Pengeroposan negara ini dari dalam tubuh birokrasinya sendiri adalah sebab utama dan pertama mengapa gonta-ganti presiden lima kali dalam enam tahun terakhir tidak membawa perubahan apa-apa dibandingkan dengan Thailand yang satu kali pergantian perdana menteri telah banyak mengubah nasib rakyat kecilnya (The Economist, 5/2/2005).
Sebab kedua semakin impotennya negara adalah semakin berjalinkelindannya keterkaitan berbagai masalah nasional dengan setumpuk faktor-faktor penyebab yang berada di lingkup tataran regional bahkan global. Masalah-masalah utama dan mendasar, seperti masalah perdagangan narkoba, perdagangan teknologi radioaktif dan nuklir, kerusakan lingkungan, perdagangan senjata, perdagangan anak dan
Teori Pembangunan Masyarakat Dosen: Suharyanto  
Aufie’s scripts 24
perempuan, tenaga kerja tak berdokumen, pencucian uang, dan terorisme semakin mustahil diselesaikan secara sendiri-sendiri oleh tiap negara. Diperlukan sistem dan mekanisme regional seperti ASEAN dan sejenisnya untuk menangani hal-hal tersebut di atas. Otoritas dan wewenang bahkan kedaulatan suatu negara nyaris menjadi klaim-klaim usang yang perlu ditinjau kembali secara komprehensif.
Faktor ketiga yang semakin membuat kemampuan negara menangani masalah mendekati titik nadir ini adalah gencarnya proses desentralisasi sebagai dampak bawaan yang tak terhindarkan dari tuntutan demokratisasi. Daerah-daerah otonom semakin asertif menarik garis batas pembagian kekuasaan politik-administratif serta anggaran antara pusat dan daerah. Hal ini diperparah dengan semakin merajalelanya keserakahan aparat birokrasi berwatak Orde Baru yang mulai mengkapling-kapling berbagai lahan dana anggaran potensial. Lebih jauh, beberapa pemerintah kota besar dan menengah malah mulai merintis kerja sama regional dan internasional dengan melangkahi pemerintah nasional.
Hasil akhir dari gempuran tiga faktor pelemah negara-bangsa ini adalah pada satu pihak pemerintah pusat tidak mampu menangani masalah- masalah yang berdimensi regional-terkini, TKI tak berdokumen di Malaysia-di lain pihak pemerintah pusat juga tidak berdaya memberikan pelayanan dasar dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Alhasil, seperti dirumuskan oleh Manuel Castells dalam karyanya The Power of Identity (1997:273): "…national governments in the Information Age are too small to handle global forces, yet too big to manage people’s lives".
Tamrin Amal Tomagola Sosiolog  http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0502/14/opini/1553516.htm Download: Kamis, 8 Juni 2006