Republik Kapling
Oleh Tamrin Amal
Tomagola
PARA nasionalis-fanatik Indonesia, khususnya mereka yang
mengacu pada paham state nationalism, cenderung dengan mata mendelik
mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI sebagai
wujud final yang haram untuk ditawar, baik sebagai sekadar gagasan maupun dalam
gerakan separatis secara damai, apalagi bersenjata.
Sambil menabuh genderang perang terhadap setiap gerakan
pemecah belah, khususnya para separatis dan aktivis LSM yang dinilai tidak
nasionalis-almarhum Munir misalnya-mereka terus berilusi bahwa tubuh Ibu
Pertiwi NKRI itu masih utuh.
Maraknya pengaplingan
Mereka cenderung menutup mata terhadap kenyataan yang telah
mulai mengeras sejak masa Orde Baru bahwa sesungguhnya setiap jengkal dan petak
bumi Nusantara ini telah dipecah-pecah dalam satuan kapling ekonomi-politik.
Ukuran kapling-kapling itu bervariasi sesuai dengan skala modal yang ditanam
dan jumlah upeti yang diselundupkan ke rekening pejabat negara dan daerah serta
para anggota DPR pusat dan daerah.
Bukit-bukit Timika untuk Freeport, Lhok Seumawe untuk Exon
Mobil, beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan untuk Monsanto, Buyat- Minahasa
dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua Barat untuk
British Petroleum, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, hutan Papua
untuk sejumlah jenderal pensiunan. Bahkan, Pulau Dewata kebanggaan Indonesia di
Bali nyaris menjadi negara bagian ke-9 Australia. Semakin banyak usaha
ekonomi-kesenian skala menengah dan besar di Bali dan Jepara, Jawa Tengah,
berpindah tangan ke pemodal asing. Satu-satunya Taman Burung di Bali pun berada
di tangan pemodal asing.
Teori Pembangunan Masyarakat Dosen: Suharyanto
Aufie’s scripts 22
Tidak hanya tubuh Ibu Pertiwi yang sudah centang-perenang
dikapling, birokrasi negara-sipil dan militer-baik pada tingkat nasional dan
daerah sudah lama tercabik-cabik dikapling-kapling oleh berbagai satuan mafia
birokrat dengan sistem sel berjenjang yang rumit merata di seluruh Nusantara
tanpa kecuali. Bila Direktorat Jenderal Pajak, Bea dan Cukai, serta Ditjen
Anggaran Depkeu belum telanjur diduduki oleh satuan-satuan tikus berseragam,
kita masih dapat berharap bahwa pajak yang dibayar oleh perusahaan asing maupun
nasional masih dapat diselamatkan dan digunakan untuk sebesar-besarnya
kemaslahatan rakyat.
Bila di departemen yang dulu bernama Pekerjaan Umum (PU)
juga sunyi dari pemalak-pemalak berseragam, maka kita masih dapat berharap
bahwa jalan-jalan tidak berlubang-lubang. Bila di Departemen Perhubungan tidak
terjadi pengaplingan proyek, maka kita tentu saja layak bermimpi punya
pelabuhan-pelabuhan-darat, laut, udara, dan sungai-yang mampu beroperasi lebih
lama dari seumur jagung. Bila Departemen Pendidikan Nasional mampu menghentikan
lagu lama Love Me Tender tentu saja anak-anak dapat diselamatkan dari
kebingungan gonta-ganti buku pelajaran dan pemaksaan ujian nasional yang
beruang 45 miliar rupiah
Dan yang paling tragis adalah Departemen Sosial dengan
seluruh jajarannya di daerah-daerah di mana dana pengungsi bermiliar rupiah
ludes tanpa dapat dilacak. Di wilayah konflik dan bencana malah dana- dana itu
dipakai untuk tim sukses meraih suatu jabatan tertentu seperti yang dilaporkan
Sdr Arianto Sangaji dalam tulisannya berjudul "Proyek Kekerasan di Sulawesi
Tengah" (Kompas, 14/12/2004). Begitu haus dan rakusnya para pejabat sipil
adigang-adigung ini melahap semua lahan- lahan finansial ini sampai-sampai
lapangan parkir, termasuk di kampus- kampus (sic!) telah dikapling-kapling.
Aparat penegak hukum dan keamanan juga tidak mau ketinggalan
dalam pesta nasional mengkapling-kapling bumi pertiwi dan birokrasi negara
serta daerah. Setiap perempatan jalan dan tempat-tempat hiburan di kota- kota
serta pangkalan ojek secara teratur mempersembahkan upeti dalam jumlah
berkali-kali lipat gaji seorang kepala polres. Suatu perkara dapat
ditelantarkan bertahun-tahun tanpa kabar (kasus pembobolan BNI misalnya) bila
ada intervensi kekuasaan uang atau politik-administratif. Lembaga Kejaksaan,
menurut seorang pengamat kepolisian, malah jauh lebih parah dalam memeras para
tersangka. Porsi upeti sebanding dengan
Teori Pembangunan Masyarakat Dosen: Suharyanto
Aufie’s scripts 23
luasnya kapling otoritas jaksa tertentu. Para hakim juga
setali tiga uang dengan rekan-rekan mereka di Kejaksaan. Beberapa faksi militer
menjadi pelindung dan bahkan pelaku dalam illegal logging, pencurian ikan laut,
perkebunan, dan perdagangan ganja. Keamanan menjadi komoditas yang dapat
direkayasa sedemikian rupa sehingga para aparat keamanan selalu tampil sebagai
pahlawan pengawal dan pembela NKRI dan penjamin keamanan rakyat. Dalam
kenyataannya, mereka lebih sibuk menjaga keamanan kapling-kapling satuan
kepentingan, baik finansial maupun promosi kenaikan pangkat mereka sendiri.
Negara semakin impoten
Keadaan NKRI yang sudah sedemikian dikeroposi dan digembosi
dari dalam oleh aparat birokrasinya sendiri nyaris memustahilkan efektifnya
pelaksanaan setiap kebijakan maupun perangkat perundang-undangan yang ada.
Bagaimana bisa suatu kebijakan nasional ditegakkan bila daftar isi dokumen
kebijakan (Propenas misalnya) juga sudah dikapling-kapling. Bab sekian untuk
departemen A. Subbab sekian sampai sekian untuk Ditjen A1, sedangkan subbab
sisanya untuk Ditjen A2 dan A3.
Adalah menarik menyaksikan bagaimana para wakil setiap
bagian dari birokrasi itu berdebat berjam-jam tentang penggunaan istilah
tertentu. Ternyata tiap istilah yang digunakan punya implikasi di bagian mana
sebuah proyek berikut dananya akan dialokasikan. Belum lagi bila bagian
birokrasi tertentu harus berhadapan baik dengan aparat Ditjen Anggaran, Depkeu,
maupun Bappenas dalam suatu dagang sapi proyek yang sangat merendahkan martabat
bangsa.
Pengeroposan negara ini dari dalam tubuh birokrasinya
sendiri adalah sebab utama dan pertama mengapa gonta-ganti presiden lima kali
dalam enam tahun terakhir tidak membawa perubahan apa-apa dibandingkan dengan
Thailand yang satu kali pergantian perdana menteri telah banyak mengubah nasib
rakyat kecilnya (The Economist, 5/2/2005).
Sebab kedua semakin impotennya negara adalah semakin
berjalinkelindannya keterkaitan berbagai masalah nasional dengan setumpuk
faktor-faktor penyebab yang berada di lingkup tataran regional bahkan global.
Masalah-masalah utama dan mendasar, seperti masalah perdagangan narkoba, perdagangan
teknologi radioaktif dan nuklir, kerusakan lingkungan, perdagangan senjata,
perdagangan anak dan
Teori Pembangunan Masyarakat Dosen: Suharyanto
Aufie’s scripts 24
perempuan, tenaga kerja tak berdokumen, pencucian uang, dan
terorisme semakin mustahil diselesaikan secara sendiri-sendiri oleh tiap
negara. Diperlukan sistem dan mekanisme regional seperti ASEAN dan sejenisnya
untuk menangani hal-hal tersebut di atas. Otoritas dan wewenang bahkan
kedaulatan suatu negara nyaris menjadi klaim-klaim usang yang perlu ditinjau
kembali secara komprehensif.
Faktor ketiga yang semakin membuat kemampuan negara
menangani masalah mendekati titik nadir ini adalah gencarnya proses
desentralisasi sebagai dampak bawaan yang tak terhindarkan dari tuntutan
demokratisasi. Daerah-daerah otonom semakin asertif menarik garis batas
pembagian kekuasaan politik-administratif serta anggaran antara pusat dan
daerah. Hal ini diperparah dengan semakin merajalelanya keserakahan aparat
birokrasi berwatak Orde Baru yang mulai mengkapling-kapling berbagai lahan dana
anggaran potensial. Lebih jauh, beberapa pemerintah kota besar dan menengah
malah mulai merintis kerja sama regional dan internasional dengan melangkahi
pemerintah nasional.
Hasil akhir dari gempuran tiga faktor pelemah negara-bangsa
ini adalah pada satu pihak pemerintah pusat tidak mampu menangani masalah-
masalah yang berdimensi regional-terkini, TKI tak berdokumen di Malaysia-di
lain pihak pemerintah pusat juga tidak berdaya memberikan pelayanan dasar dalam
bidang pendidikan dan kesehatan.
Alhasil, seperti dirumuskan oleh Manuel Castells dalam
karyanya The Power of Identity (1997:273): "…national governments in the
Information Age are too small to handle global forces, yet too big to manage
people’s lives".
Tamrin Amal Tomagola Sosiolog
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0502/14/opini/1553516.htm Download:
Kamis, 8 Juni 2006